Pemilu Bermartabat

Oleh Munawar Syah

PEMILU sebagai suatu mekanisme demokrasi sesungguhnya di desain untuk mentransformasikan sifat konflik yang terjadi di masyarakat. Ironis, idealitas yang dibangun dalam sebuah proses demokrasi sering jauh dari apa yang diharapkan. Pemilu dirancang sebagai demokrasi elektoral justru menjadi ajang baru timbulnya konflik kekerasan dan benturan-benturan fisik antar pendukung peserta pemilu yang menjadi pemandangan jamak kita temui dan baca selama ini di Aceh. Jadi, mekanisme demokrasi elektoral dengan saluran pemilu semula diharapkan berlangsung bermartabat, justru melegitimasi munculnya kekerasan pemilu. Teramat sulit menerima perbedaan, toleransi menjadi kosa kata mahal di Aceh akibat gesekan kepentingan saling dominasi kekuasaan dalam pemilu. Dengan kata lain di Aceh, desain demokrasi dalam konteks penyelenggaraan pemilu gagal mentransformasikan konflik.

Jika melihat logika elektoral, maka yang berlaku adalah logika “kalau saya dapat, yang lain tidak boleh dapat”. Demokrasi didesain dengan prinsip “siapa menang, maka dia yang akan menentukan segalanya, kalah harus tersingkir dan menunggu lima tahun lagi”. Logika ini menciptakan dominasi kekuasaan. Pemilu yang bekerja dengan logika semacam ini memunculkan persoalan konflik yang cukup rumit. Pemilu pun tidak bisa lagi dilihat hanya sekedar persoalan electoral prosess, tetapi lebih kompleks dari itu bahwa pemilu menyangkut persoalan “hidup mati” sebuah kelompok.

Di sisi lain, mekanisme demokrasi cenderung menjadikan masyarakat bersikap “pra bayar”. Masyarakat bukannya memilih menggunakan momentum pemilu sebagai saluran demokrasi terpercaya, mereka justru menjadikan pemilu sebagai bagian dari sumber pendapatan uang tunai. Sederhana sekali masyarakat kita berfikir, daripada mengharap janji-janji pemilu yang sudah sering tidak ditepati, lebih baik memperoleh uang tunai di awal sebelum menentukan pilihan.

Rawannya konflik dan kekerasan dalam pemilu juga disumbang oleh kontestasi system multipartai yang sedari awal sudah menggambarkan perbedaan kepentingan politik, tambah lagi entitas politik lokal di Aceh. Sederhananya, perbedaan kepentingan politik berkontribusi terhadap rapuhnya perdamaian sosial. Ini menjadi fakta pada saat kelompok-kelompok yang terkait dalam konflik kepentingan menggunakan strategi menang untuk kelompok sendiri dan anti terhadap lawan, maka perilaku agresif dan tidak mempedulikan kelompok lain.

Ancaman nyata
Pola konflik seperti ini memberikan ancaman nyata terhadap kekerasan dalam bentuk aksi kekerasan fisik dan ketidakadilan sosial. Seandainya 15 parpol memiliki karakter ini, kekerasan fisik dan ketidakadilan sosial menjadi keniscayaan. Sejarah pemilu di Indonesia sendiri selalu tidak lepas dari pertunjukan kekuatan, akibatnya aksi kekerasan antar pendukung partai politik tak terhindar, apalagi di Aceh. Saya menaruh hormat dan tabik kepada partai politik, para pendukung dan calon anggota legislatif yang pada masa kampanye pemilu mampu mempertaruhkan nama baik diri dan partai politiknya untuk berkompetisi secara fair dan elegan.

Mewujudkan pelaksanaan Pemilu 2014 yang demokratis dalam bingkai persaudaraan dan perdamaian menjadi penting untuk terus disuarakan. Walaupun faktanya, ada partai politik yang menunjukkan sikap politik berbeda dengan memboikot pelaksanaan ikrar pemilu damai yang dinilai sekadar slogan pemanis lidah sebagai aksi kekecewaan partai tersebut terhadap kondisi yang kini sedang berlangsung. Mereka menilai iklim pemilu di Aceh adalah “pepesan kosong” dan “panggung sandiwara”, saban hari pemberitaan terhadap kekerasan terjadi gara-gara haluan politik berbeda.

Aksi-aksi kekerasan sepertinya sulit sekali dibendung untuk tidak terjadi, ancam mengancam, rusak merusak, cedera mencederai bahkan bunuh membunuh menjadi tren perhelatan pemilu di Aceh yang menjadi suguhan minum kopi kita di kala pagi. Sungguh sangat tidak sebanding lurus dengan ikrar pemilu damai yang diucapkan dan ditandatangani oleh peserta pemilu. Sikap penolakan ini tentunya menjadi hak politik yang wajar oleh siapa pun di alam demokrasi, karena berbeda adalah pilihan.

Walau demikian faktanya, tidak boleh menyurutkan niat untu mewujudkan pemilu yang sehat, kompetitif, edukatif dan bermartabat sesuai dengan nilai-nilai azas demokrasi yang menghasilkan pemilu kredibel. Seluruh elemen masyarakat, saya yakini berharap sangat pemilu legislatif tahun 2014 dan nantinya kita menjadi pemilu yang dapat dipercaya. Literatur pemilu menunjukkan bahwa paling tidak ada empat prasyarat yang harus ada sehingga pemilihan umum berjalan dengan baik dan bermartabat, yaitu: Pertama, partai politik dan para politisi dapat menerapkan cara-cara yang elegan dalam meraih kekuasaan;

Kedua, penyelenggara pemilu, bekerja sebaik-baiknya sesuai tugas dan kewenangannya, teliti dan cermat. Penyelenggara pemilu harus memperhatikan kemandirian dan ketidakberpihakan, bekerja secara efektif dan efisiensi, profesionalisme terhadap bidang yang digelutinya. Artinya, penyelenggara pemilu harus memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai prosedur dan filosofi pemilu yang bebas dan adil, kompetensi, transparansi; Ketiga, partisipasi masyarakat terbuka dan memilih sesuai dengan pilihannya, dan; Keempat, kepastian penegakkan hukum atas pelanggaran pidana pemilu, juga tentunya terhadap setiap perbuatan dan tindakan destruktif yang menganggu ketertiban masyarakat secara umum, baik yang muncul sebelum, selama dan sesudah pemilu.

Untuk prasyarat pertama, kita berharap dan mendorong komponen masyarakat yang terlibat aktif sebagai anggota, pengurus, caleg dan elit partai politik untuk selalu mengedepankan dan menghormati azas penyelenggaraan pemilu, di mana pemilum itu sendiri adalah sarana parpol meraih kekuasaaan. Berkompetisi secara fair dan terhormat dalam meraih kekuasaan dengan terus memperkuat kapasitas kader dan kualitas instistusinya, tidak hanya saat musim pemilu tetapi juga sebelum dan sesudah pemilu. Selama ini parpol dinilai sekadar butuh dan jenguk rakyat ketika musim pemilu datang, janji-janji politik partai dalam kampanye semuanya dikaitkan atas nama rakyat. Padahal sesungguhnya rakyat tidak minta lebih, mereka hanya manaruh harapan sederhana bila nantinya partai atau caleg yang didukung menang dan mendapatkan kursi di DPR tolong jangan lupakan kami. Dalam kaitan ini, hanya politisi yang memiliki kapasitas dan moralitas kuat yang tidak melupakan rakyatnya.

Tidak kredibel
 Prasyarat kedua, KPU dan KIP sampai jajarannya ke bawah harus mampu bekerja dengan teliti, cermat dan benar. Netralitas menjadi kata wajib, sebab penyelenggara pemilu yang tidak berintegritas akan menghasilkan rekayasa-rekayasa dalam melaksanakan tahapan pemilu, selanjutnya dipastikan pemilu menjadi tidak kredibel. Sikap netralitas, integritas dan kredibilitas sebagai penyelenggara harus dibuktikan dan dipertaruhkan sehingga harapan kepada institusi penyelenggara ini sebagai salah satu lembaga penopang pelaksanaan demokrasi substansi dapat terwujud. Prasyarat ketiga, partisipasi rakyat yang terjamin hak pilihnya dengan bebas sesuai yang diyakininya, rakyat merupakan pihak penerima dampak langsung dari proses pemilu, jika rakyat dihalangi-halangi melakukan pemilihan sesuai apa yang diyakininya, maka cita-cita perwujudan pemilu demokratis akan jauh panggang dari api. Karenanya pemilih harus didorong menjatuhkan pilihannya secara cerdas, menimbang, memilah dan kemudian memilih yang terbaik sesuai dengan apa yang sudah dipertimbangkan.

Intimidasi kepada rakyat dalam memilih atau membeli suara rakyat dengan sejumlah rupiah sesungguhnya adalah upaya sistematis yang mengerogoti moralitas rakyat dan tatanan demokrasi. Terakhir prasyarat keempat, adalah pengawasan terhadap tahapan pemilu dan penegakan hukum. Keberadaan Bawaslu serta jajarannya mengambil peran penyelenggaraan pengawasan pemilu yang dilaksanakan oleh KPU dan peserta pemilu. Institusi TNI sudah menyatakan siap menjaga kedaulatan Negara, semua tindakan destruktif yang menganggu persatuan dan kesatuan bangsa dan mengancam keutuhan NKRI berhadapan dengan TNI. Kepolisian dan lembaga peradilan pun demikian memastikan terjaganya ketertiban umum, rasa aman masyarakat dan penegakkan hukum terhadap pelanggaran.

Pertaruhan kiranya terhadap institusi kepolisian dan peradilan untuk memastikan bahwa kejadian-kejadian melanggar hukum selama pemilu, dapat diungkap secara tuntas. Politik uang marak dilakukan oleh parpol, caleg dan tim kampanye di tengah masyarakat pemilih, intimidasi terhadap penyelenggara, peserta pemilu dan pemilih sangat rawan terjadi menjelang hari pemungutan suara. Pengrusakan kendaraan dan harta benda sudah banyak terjadi, penculikan yang diikuti upaya penghilangan nyawa orang, bahkan pembunuhan yang terjadi selama pemilu. Ungkap kasusnya dan tangkap para pelaku, hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu sesuai dengan pelanggaran dan kejahatan yang diperbuat. Dengan upaya ini diharapkan akan menghasilkan pemilu yang berkualitas dan bermartabat. Akhirnya, istighfar dan berserah diri kepada Allah, ucapkan bismillah di bilik suara coblos pilihanmu.

* Munawar Syah, Alumni Pascasarjana IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Email: syahmunawar@yahoo.com

Opini telah dimuat di Harian Serambi Indonesia http://aceh.tribunnews.com/2014/04/07/pemilu-bermartabat